Budaya Jakarta merupakan budaya mestizo,
atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda,
Jakarta merupakan ibu kota Indonesia yang menarik pendatang dari dalam
dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku
Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk
pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang
ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.
Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia
maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
· Bahasa
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi
adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan
hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari
daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut
sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda
Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari
Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan
Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa
Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda
seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal
dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi
Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang
digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
· Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
· Tari
Seni
tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya
masyarakat yang ada di dalamnya. Pada awalnya, seni tari di Jakarta
memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Jaipong dengan kostum
penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni
tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
· Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen
atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam
perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras". Selain mengisahkan
jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial.
· Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.
Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik
juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.
Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda
mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis
membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
Profesi
Di Jakarta,
orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa
profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal
di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para
petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum
banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H.
Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum
betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung
yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak
sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan.
Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman
seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga
adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan
pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan
profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga
Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat
itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan
sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga
Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena asal-muasal
bentukan etnis mereka adalah multikultur (orang Nusantara, Tionghoa,
India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing
kaum disesuaikan pada cara pandang bentukan etnis dan bauran etnis dasar
masing-masing.
Perilaku dan sifat
Asumsi
kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil,
baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak
sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad
Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini .
Ada
beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka
sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu
berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga
nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang
beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat
menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara
masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang
Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari
perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan
yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang
kromong, dan lain-lain.
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi
masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri
(baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi
generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
Sumber :: Dwi Jayanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar