Kamis, 10 November 2011

Bengawan Solo Warnai Pertunjukan Seni Tradisional Jepang

[Unpad.ac.id, 21/09/2011] Japanese Traditional Performing Art Unit “21st Century Classical Japanese Music and Dance”memukau pengunjung dalam pertunjukkan seni musik dan tari yang digelar di Pusat Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Selasa (20/09) ini. Tujuh orang perempuan asal Jepang menunjukkan keindahan seni tradisional negeri sakura itu. Mereka adalah Maki Isogai, Rin Nakashima, Yoshie Miura, Shozan Sakurai, Fumiko Arai, Akiko Sakurai, dan Kihi Hanayanagi.

Seniman Jepang menampilkan seni musik dan tari tradisional Jepang di PSBJ Fakultas Sastra Unpad, Selasa (20/09) kemarin. (Foto: Hera Khaerani)*
Lagu Bengawan Solo menjadi lagu yang mereka pilih untuk membuka juga menutup pertunjukkan mereka saat itu. Meski nada-nadanya sudah akrab di telinga kita, penggunaan koto (alat musik petik khas Jepang), shakukachi (suling bambu), dan alat-alat musik tradisional Jepang lainnya, memberikan sentuhan yang berbeda pada lagu karya almarhum Gesang itu.
Sementara itu, lagu kedua yang dipilih yakni Etenraku. Perubahan ritme drum khas Jepang yang berubah dari pelan ke cepat terdengar jelas dalam lagu ini. Lagu tersebut biasanya dibawakan di istana. Lalu pertunjukkan mereka pun dilanjutkan dengan lagu Rokudan no Shirabe yang dibawakan hanya dengan koto.
Koto sendiri merupakan alat musik yang menyerupai harpa, hanya saja ia dimainkan secara horizontal. Alat tersebut masuk ke Jepang dari Cina sekira 1.300 tahun silam. Adapun jenis koto yang dimainkan kemarin, adalah koto yang lebih modern dengan 13 senar.
Pengunjung juga dibawa ke komposisi indah yang ditulis oleh seorang komposer tuna netra asal Jepang, almarhum Michio Miyagi, Rokudan no Shirabe from Midare. Pertunjukkan komposer tersebut dengan Renee Chemet, pemain biola dari Perancis, membuat lagu tersebut mendunia. Dari komposisi yang indah itu, kita bisa mendengarkan suara ombak, kicauan burung, dan lagu para pelaut.
Dalam pertunjukkan kelompok seni tradisional Jepang itu, pengunjung juga diajak untuk mengikuti workshop tarian dan alat musik tradisional Jepang. Di sela-sela pertunjukkan, mereka selalu memberikan penjelasan tentang alat-alat musik yang dimainkan, serta lagu yang dibawakan. Selain itu, lima orang mahasiswa Fasa Unpad juga diajak naik ke atas panggung untuk turut memperagakan beberapa gerakan dalam tarian Jepang.
“Kami selalu mengawali dan mengakhiri tarian dengan hormat,” sebut Kihi Hanayanagi dalam bahasa Jepang, sambil mengajari kelima mahasiswa tersebut cara member hormat yang benar. Ia juga menjelaskan bahwa bahkan saat menggunakan kipas dalam tarian, semua gerakan memiliki artinya masing-masing. Misalnya saja gerakan yang menyerupai ombak, angin, dan sebagainya, semua itu bisa diterjemahkan dalam bentuk gerakan kipas dalam tari.
Japan Performing Arts Association (JAA) awalnya berdiri 2007 silam dengan nama Japan Traditional Culture Saloon Ginmokukai. JAA dibentuk untuk memberikan kontribusi sosial dengan mempromosikan kebudayaan tradisional Jepang baik di Jepang maupun negara-negara lainnya. Pertunjukkan mereka ini memungkinkan pertukaran budaya internasional. Selain melakukan pertukaran budaya ke Indonesia, JAA juga pernah tampil di Schleswig Holstein Music Festival, Kanada EXPO QUEBEC, dan di Republik Maldives. *


By : Maya Carlina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar