Air sebagai yin dan api sebagai yang, itulah kira-kira simbolisasi dari upacara minum teh di Jepang. Air yang akan digunakan untuk menyeduh teh ditempatkan di sebuah wadah yang terbuat dari batu (mizusashi) dan hanya boleh dipegang oleh tuan rumah. Sementara itu, teh seduhnya (matcha) disimpan dalam guci keramik kecil. Selanjutnya, dibungkus dengan shifuku yang terbuat dari kain sutra dan diletakkan di depan mizusashi. Jika penyajian teh dilakukan pada siang hari maka akan dibunyikan gong. Sementara itu, jika di sore hari, maka bel yang akan berbunyi. Baik gong maupun bel, biasanya akan dibunyikan sebanyak lima hingga tujuh kali untuk memanggil para tamu kembali ke ruang teh. Para tamu pun harus sekali lagi mencuci tangan dan mulut lalu masuk seperti semua dengan memberikan pujian tentang bunga, ketel, dan tungku kemudian duduk dengan sendirinya. Saat seluruh tamu mencoba semua teh yang disediakan, mangkuknya dikembalikan pada tuan rumah yang akan segera mencucinya. Whisk-nya dibilas lalu sendok teh dan wadah daun teh dibersihkan. Setelah itu, tuan rumah menawarkannya kepada para tamu untuk diperiksa kebersihannya. Jika sudah, barulah tuan rumah dan para tamu mulai berdiskusi tentang hal lain, presentasi, dan topik-topik lainnya. Ditandai dengan dimasaknya teh encer (usacha), berarti para tamu siap meninggalkan dunia teh untuk kembali ke dunia fisik. Para tamu pun akan mengungkapkan apresiasinya atas jamuan tuan rumah dan memuji karya seni yang dimilikinya. Tuan rumah akan mengantarkan kepergian para tamu dengan memandang dari pintu rumah teh.
By : Eka.Retnasari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar