Inilah Wisata Indonesia Paling Populer
yang sengaja dilupakan. Objek Wisata Populer ini sempat menjadi
pembicaraan hangat, namun hanya hangat-hangat Tahi Ayam. WIsata
Indonesia Paling Populer itu bukanlah di Pekanbaru Riau.
Nama Objek Wisata Indonesia Paling Populer itu berlokasi di tempat
menggenangnya sebuah lumpur yang fenomenal, lumpur yang mahal pernah
dijual orang pergelas. Luas areanya sangat luas. Lumpur itu bernama Lumpur Lapindo.
Si
Jablog (Si Bujang Blogger) membuat mukanya dengan ekpresi tanda tanya?
"apa ni yang abang cakap, aneh-aneh saja penjelasan abang ini," saya
pun tersenyum dikulum mendengar respon Si Jablog. "Ah..macam tak tahu
saja awak tu Jang, Lumpur Lapindo itukan sebuah objek wisata paling
populer dan sengaja dilupakan," kataku sambil senyum nampak gigi.
Semalam saya mendapat email dari salah seorang kawan diseberang (Pulau
Jawa) sana, "Dia meminta saya membantu untuk mempromosikan Objek Wisata
Populer itu," sebuah bantal yang penuh peta harta karun saya
peluk-peluk sayang, "Jang, saya masih penat nih, awak tu lihat saja
salinan emailnya di flasdisk, saya nak berehat sekejap." Si Jablog
dengan rasa penasarannya langsung saya menguncah-nguncah tas punggung
saya dan menghidupakan Apple Ipad yang baru saja dibeli dari hasil
bisnis onlinennya. Berikut petikan surat elektonik itu:
Setelah
3 tahun ditambah 100 hari pemerintahan yang sekarang, ternyata tidak
sedikitpun menyentuh kondisi sosial korban lumpur Lapindo yang ada di
Desa Porong, Sidoarjo. Perlahan dan (seperti) pasti, kondisi sosial di
Porong dan desa-desa lainnya yang terkena dampak lumpur Lapindo
dilupakan bahkan ditinggalkan. Rembug Nasional (National Summit) yang
diadakan Presiden setelah pelantikannya juga seperti sengaja untuk
tidak mengundang korban lumpur Lapindo.
Masih tercecer saat ini
lebih dari 300 KK yang menganggur, hak penghidupan yang semestinya
menjadi hak paten manusia hidup masih juga tidak diperjuangkan dengan
baik. Bisa dibayangkan, berapa total nyawa yang terancam kelangsungan
hidup, pendidikan dan masa depan bila dihitung dari 300 KK. Uang ganti
beli (yang jelas-jelas uangnya dari Negara alias Rakyat) juga tidak
membantu banyak, karena masih banyak penduduk yang belum menerima uang
ganti asset tersebut.
Kebijakan Perpres No. 14/2007 adalah
termasuk kebijakan ‘kesopanan’ pemerintah pusat pro Lapindo, tidak
tegas dalam memberesi persoalan rakyat akibat kebijakan pengelolaan
usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) yang tidak berorientasi pada
social safety.
Terakhir minggu ketiga bulan pertama tahun ini,
saya mencoba melakukan assesment secara nyata ke desa-desa yang terkena
dampak lumpur Lapindo. Lokasi pengungsian yang masih semrawut,
pengangguran nyata yang terlihat di sisi danau lumpur, hingga
wajah-wajah tegang yang berseliweran disekitarnya. Namun terlihat juga
beberapa pengunjung yang menikmati danau lumpur ciptaan Lapindo itu.
Luas tanggul yang hampir mencapai 1 KM menjadi strategic view untuk
menikmatinya. Terlihat sekali minim aktifitas yang terjadi disini.
Hampir seperti daerah mati. Sebelum menikmatinya, saya dicegat dan di
minta membayar sebesar 5000 rupiah sebagai ganti uang tiket masuk ke
lokasi wisata danau lumpur. Tanpa senyum dan tanpa basa basi, terlihat
sekali ketegangan yang sudah akut menyelimuti pikiran mereka-mereka
yang ada di daerah ini.
Berbekal melihat dan mencermati keadaan,
kebutuhan perut para pengungsi yang berjumlah lebih dari 300 KK
tersebut sudah tidak bisa lagi dihindarkan. Sudah sangatlah mendesak.
Menurut Ipung M Nizar, salah satu koordinator pengungsi, mereka sudah
tidak tahu lagi harus bagaimana. Kebanyakan dari mereka sulit untuk
diajak keluar dari daerah lumpur tersebut. Hingga akhirnya dia sebagai
koordinator tidak bisa juga meninggalkan rekan-rekan dan beberapa
saudaranya yang masih tinggal dan menunggu uang ganti beli dari
Pemerintah. Namun mereka berjanji bila ada jaminan penghidupan yang
layak, mereka akan berusaha untuk keluar dari lingkungan Lumpur yang
jelas-jelas sudah tidak lagi kondusif untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Selama ini Ipung dan teman-teman mencoba untuk berkarya dengan
membuat CD/DVD dokumenter tentang kejadian Lumpur Lapindo.
Untuk
membantu Ipung dan rekan-rekannya, saya beserta teman-teman mencapai
pada tahap kesepakatan untuk membantu dengan cara menghidupkan saja
sekalian wisata di Danau Lumpur Lapindo. Secara SDM dan kreatifitas,
daerah Tanggulangin dan Porong merupakan sentra produksi kerajinan yang
sangat dikenal di Indonesia. Di Tanggul pembatas lumpur yang lebar
mencapai 15 Meter serta panjang hampir 1 KM itu nantinya akan didirikan
pasar wisata dengan berbagai penjualan. Hanya saja dibutuhkan banyak
modal untuk orang-orang korban Lapindo ini agar bisa berjualan.
Untuk
mensiasatinya, saya secara pribadi akan menggandakan CD/DVD Dokumenter
Lumpur Lapindo serta membuat beberapa macam produk yang berhubungan
dengan tragedi ini. Dan bisa dilihat di situs SocioDistro serta Social
Movement yaitu http://kukira.net.
Yang nantinya hasil penjualan dikurangi modal akan saya kirim ke
beberapa koordinator pengungsi disana, entah itu LSM atau personal.
Diantaranya Ipung dan LSM yang tergabung dalam http://korbanlumpur.info
. Beberapa produknya adalah T-Shirt dan Topi.
Pengadaan konsep
Pasar Wisata Danau Lumpur ini juga merupakan sebagai bentuk protes
terhadap pemerintah dan mengingatkan kepada khalayak ramai bahwa masih
banyak masalah yang diakibatkan oleh Lapindo dan pemerintah secara
tidak langsung.
Ajeng Junita Eka Putri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar