Jepang Modern, Tradisi Koheren
Tradisi bila tetap dijaga ternyata tidak serta merta mendapat julukan yang kurang enak: tradisionalis, kolot dan kuno. Sebaliknya, bagi masyarakat Jepang tidaklah demikian. Jepang, sebuah negara yang memperoleh kesuksesan menjadi negara modern dan patut dicontoh bagi negara-negara berkembang di Asia, justru maju dan modern karena menunggangi nilai-nilai tradisinya. Nilai-nilai tradisi apakah yang tetap diusung Jepang dalam menapaki dirinya hingga berhasil mengimbangi negara-negara maju di Amerika dan Eropa lainnya?Untuk memahami proses perjalanan panjang mengapa negara Jepang bisa maju dan berkembang menjadi negara modern perlu memahami sejarahnya yang panjang berliku. Setidaknya, ada dua masa dimana Jepang bisa mengantarkannya menjadi jadi negara modern: Pertama Masa Jengoku Jidai atau zaman Tokugawa (masa perang) berkisar antara abad XV – XVII. Pada masa ini para Samurai menjadi pasukan bela negara yang kuat dan merupakan kelas masyarakat tertinggi di
sana. Kedua, masa Restorasi Meiji (masa damai) berkisar dari abad XVII – XIX. Masa 200 tahun damai ini, para samurai tidak lagi menjadi gangster (tukang berkelahi) tetapi mengabdi menjadi guru dan mengajari anak-anak orang-orang kaya (kelas pedagang). Di Jepang waktu itu, kelas tertinggi diduduki Samurai, Ksatria, Pedagang, Petani dan beberapa kelas di bawahnya lagi.
Di Jepang, kaisar memegang peranan yang sangat penting bagi masyarakatnya. Jika kaisar menginginkan agar negaranya kuat dan ingin memilih Eropa sebagai tujuan belajarnya, maka proses menuju itu sangatlah mudah. Kebetulan Kaisar Meiji pikirannya sangat visioner.
Pandangan terhadap Tradisi
Tradisi bagi masyarakat jepang adalah sesuatu yang tidaklah kaku sebagaimana pandangan kita selama ini. Jika kita ingat ada film Oshin yang pernah tenar di Indonesia, kita bisa melihat di sana tokoh Oshin memakai kimono, berambut panjang dan kesan-kesan fisik lainnya. Namun sekarang, sebagaimana sering kita melihat artis-artis Indonesia berkiblat pada mode pakaian para ABG (anak baru gede) dan remaja Jepang: berambut pirang, bercat dan pakaian dengan style khas. Ini bisa dilihat pada gaya pakaian artis cantik Maia dan Mulan Kwok (grup Ratu) dan penyanyi muda berbakat.
Dari sini kemudian kita bertanya: Apakah mereka menghargai tradisi Jepang atau tidak? Kesan kita selama ini, orang Jepang itu pakai kimono, berambut panjang, dan kesan-kesan fisik lainnya. Tapi yang disebut tradisi di Jepang itu bukanlah itu semua, tapi spirit untuk memadukan antara kehendak untuk maju dengan spirit mempertahankan budaya. Simbol-simbol tradisinya bisa hilang, tapi spirit selalu ada dalam dada mereka. Mereka bisa mengatakan, saya orang Jepang, walau rambut saya merah. Disamping itu, hingga saat ini, banyak orang-orang kita menganggap bahwa gaya bekerja orang Jepang sangat tinggi, dan sangat keras. Rupanya, antusias untuk maju begitu kuat di dada mereka.
Darimanakah semangat yang begitu keras di dapatkan. Ternyata, bukan dari siapa-siapa dan bukan dari orang luar tetapi dari spirit para guru-guru samurai yang diturunkan murid-murid pedagang. Spirit itulah yang sekarang masih ada dan menyatu pada diri dan membentuk kepribadian orang Jepang. Keuletan bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang dari orang Barat itu jugalah yang membuat orang Barat geleng-geleng kepala. Mereka seakan-akan hidup untuk, bukan bekerja untuk hidup. Dari kacamata ilmu sosial ada istilah virus kemajuan (need for achievement) itu kini terbentuk di masyarakat Jepang. Sebuah tradisi yang begitu menggelorakan semangat untuk maju justeru lahir dari budayanya atau kultur sendiri.
By: Ulfa Ratna Sari
SK 201
Tidak ada komentar:
Posting Komentar